Terbongkar! Kontroversi Ormas dan Izin Tambang, Siapa yang Sebenarnya Berhak?

Baru-baru ini, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengumumkan bahwa mereka menerima tawaran Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari pemerintah. Ini menjadikan Muhammadiyah sebagai ormas kedua yang menyetujui tawaran ini setelah Nahdlatul Ulama. Tentu saja, keputusan ini langsung memicu berbagai reaksi dari publik.

Sebelumnya, Nahdlatul Ulama juga mendapat banyak kritik setelah menerima tawaran serupa. Bahkan ada guyonan yang membalik akronim NU menjadi “UN” alias Ulama Nambang, dan lelucon “Dipisahkan qunut, disatukan tambang” muncul setelah Muhammadiyah ikut serta. Selorohan ini menunjukkan ketidakpuasan publik terhadap keputusan kedua ormas besar ini.

Beberapa orang bahkan melakukan aksi protes di Universitas Aisyiyah Yogyakarta, menuntut agar Muhammadiyah menolak tawaran tersebut. Reaksi keras ini muncul karena banyak yang merasa organisasi masyarakat seharusnya menolak izin tambang, yang sering dikaitkan dengan kerusakan lingkungan dan konflik sosial.

Ada anggapan bahwa tambang hanya mencerminkan keserakahan oligarki, dan organisasi masyarakat seharusnya tidak berada di pihak yang sama. Tapi kenapa sih organisasi masyarakat harus dianggap “haram” jika terkait dengan tambang? Kenapa mereka dikritik habis-habisan ketika menerima tawaran izin tersebut?

Pada dasarnya, memanfaatkan sumber daya alam adalah hak semua warga negara, termasuk organisasi masyarakat. Sama seperti perusahaan, ormas juga berhak atas izin tambang. Publik tampaknya masih terjebak dalam pandangan bahwa ormas hanya boleh berjuang di “jalur suci” tanpa terlibat dalam usaha.

Padahal, tawaran izin ini sebenarnya adalah cara untuk mendistribusikan sumber daya alam yang selama ini dikuasai perusahaan swasta. Dengan adanya izin ini, ormas bisa jadi alternatif dalam mengelola sumber daya alam dengan semangat sosial, bukan hanya untuk keuntungan.

Memang, kita tidak bisa mengabaikan kekhawatiran tentang dampak tambang yang bisa merusak lingkungan dan kesehatan masyarakat. Namun, dampak tersebut sering kali disebabkan oleh perusahaan, bukan oleh organisasi masyarakat. Jadi, tidak adil kalau kita menghukum ormas untuk kesalahan yang dilakukan perusahaan.

Selain itu, banyak orang juga meragukan kemampuan ormas dalam mengelola tambang. Tapi jika kita melihat rekam jejak ormas dalam bidang lain seperti pendidikan dan kesehatan, mereka juga sudah mengelola berbagai lini dengan baik. Jadi, kenapa kita harus mempersoalkan mereka mencoba izin tambang?

Kita seharusnya fokus pada bagaimana proses pengelolaan tambang dilakukan dan ke mana manfaatnya akan digunakan, bukan pada siapa yang mengelola. Ormas berhak mendapatkan kesempatan untuk membuktikan diri mereka, dan jika mereka melakukan kesalahan, kita bisa mengawasi dan mengkritisi mereka.

Sebagaimana dikatakan Keebit von Benda-Beckmann dalam bukunya, “tanpa prosedur yang benar, maka tak ada hak.” Jadi, seharusnya kita lebih memperhatikan apakah prosedur telah dipenuhi, bukan hanya siapa yang mengelola. Semua pihak harus mematuhi kewajiban seperti status lahan dan analisis dampak lingkungan. Bukankah itu lebih adil?

Masyarakat yang kritis adalah hal yang penting, tapi alangkah lebih baik jika kita fokus pada pengelolaan dan arah dari tambang, bukan hanya membatalkan hak ormas. Kita juga bisa mengawasi dan mengkritisi mereka jika mereka lalai dalam kewajiban mereka.

By admin