Kebijakan publik yang berkualitas masih jadi PR besar bagi pemerintah daerah. Idealnya, kebijakan publik itu harus matang dalam hal perencanaan dan pelaksanaan seiring dengan eksistensi pemerintah. Dengan kata lain, kebijakan publik yang baik seharusnya nggak jauh dari harapan teori dan bukti nyata dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.
Tapi, kenyataannya, 72% kebijakan publik di pemerintah daerah masih dikategorikan cukup atau kurang berkualitas (data November 2023). Penilaian ini didasarkan pada dua dimensi utama, yaitu perencanaan dan evaluasi kebijakan, serta empat sub dimensi seperti agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.
Kualitas kebijakan yang rendah ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah seringkali kesulitan memahami kompleksitas masalah publik dan menerjemahkannya dalam kebijakan yang efektif. Biasanya, para pembuat kebijakan di daerah kurang punya kompetensi untuk mengembangkan alternatif kebijakan yang beragam, sehingga hasilnya sering kali tidak menyelesaikan masalah masyarakat dengan baik.
Masalah utama di pemerintah daerah sebenarnya terletak pada kurangnya komitmen dan kompetensi dari para aktor kebijakan. Banyak dari mereka yang hanya mengandalkan asumsi dan informasi sederhana tanpa melakukan analisis mendalam. Dunn (2003) mengidentifikasi tiga jenis masalah kebijakan: masalah yang sederhana dan terstruktur dengan baik, masalah agak sederhana, dan masalah yang rumit. Identifikasi masalah yang tepat itu kunci untuk menemukan solusi yang efektif.
Sayangnya, banyak pejabat pemerintah daerah yang belum paham betul pentingnya identifikasi masalah yang akurat. Informasi yang dikumpulkan harus didasarkan pada data yang solid dan analisis teori yang mendalam agar bisa menangkap berbagai akar permasalahan dengan tepat.
Sementara itu, aspirasi dan pengaduan dari masyarakat seharusnya bisa jadi bahan bakar dalam merumuskan kebijakan. Proses dialog dan penajaman masalah yang sistematis bisa membantu dalam merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran. Tapi, pertanyaannya adalah, apakah kita benar-benar punya komitmen untuk melakukan itu?
Menurut Prof. Agus Dwiyanto dalam studi kebijakan publik (LAN, 2021), proses kebijakan di Indonesia seringkali berjalan terbalik. Biasanya, kebijakan sudah ada duluan sebelum masalahnya diidentifikasi dengan benar. Akibatnya, analis kebijakan sering terjebak dalam situasi di mana keputusan sudah diambil terlebih dahulu oleh pejabat politik, dan mereka hanya diminta untuk membuat justifikasi agar kebijakan tersebut terlihat baik.
Kemudian, masalah birokrasi kita yang sering dipengaruhi oleh kepentingan politik dan individu membuat tujuan organisasi menjadi kabur dan tidak jelas. Hal ini menyebabkan birokrasi bekerja tanpa arah yang jelas dan akhirnya hanya fokus pada pengeluaran anggaran tanpa menghasilkan kinerja yang berarti. Akibatnya, masyarakat sebagai penerima manfaat dan daerah secara keseluruhan dirugikan karena sumber daya yang digunakan tidak memberikan hasil yang diharapkan.
Kalau birokrasi terus diwarnai oleh kepentingan pribadi, mustahil akan ada kebijakan publik yang berkualitas. Kebijakan yang ada akan terlihat hanya sekadar formalitas tanpa dampak yang signifikan.
Pasca penyetaraan jabatan struktural ke jabatan fungsional analis kebijakan pada 2021, ternyata banyak pejabat fungsional analis kebijakan yang belum dibekali dengan kompetensi yang sesuai. Seharusnya, analis kebijakan harus mampu menyusun kebijakan berbasis bukti atau evidence-based policy. Namun, kenyataannya, 72% kebijakan publik di pemerintah daerah masih berada pada kategori yang kurang berkualitas. Ini menunjukkan bahwa penyetaraan jabatan hanya memenuhi aspek prosedural, bukan substansi yang dibutuhkan untuk menciptakan pemerintahan yang responsif dan efektif.
Untuk itu, pemerintah daerah perlu memikirkan kembali kompetensi para pejabat fungsional analis kebijakan. Sudah saatnya revitalisasi fungsi analis kebijakan dilakukan agar tujuan dan sasaran kebijakan benar-benar bisa menyelesaikan masalah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.